System yang buruk membuat pelakunya menjadi buruk

Partai koalisi Partai Demokrat yang selama ini bersikap mendua dinilai tidak lagi punya rasa setia kawan. Jika tidak ingin dirugikan lebih jauh, SBY disarankan menendang partai yang tidak punya komitmen koalisi dengan melakukan reshuffle kabinet.

“Sejak awal koalisi SBY memang rapuh, karena diikat kepentingan jangka pendek. Sangat tidak mengejutkan kalau mudah buyar begiu ada gesekan kepentingan,” kata pengamat politik dari UGM Gaffar Karim saat berbincang dengan detikcom melalui telepon, Rabu (23/12/2009).

Berikut saya tuliskan note saya tanggal 24 April 2009 yang lalu, sbb :

Bangsa yang hidup dalam aturan yang aneh, produknya menjadi aneh, dan semakin banyak orang-orang yang menjadi aneh. Inilah kesimpulan saya, setelah menyimak situasi terkahir dan perkembangan proses perpolitikan pasca perceraian Partai Golkar dan Partai Demokrat di negeri ini. Menyimak pernyataan para tokoh politik, para pengamat politik dan pelaku-pelaku politik itu sendiri, ibarat forum srimulat yang mebuat kita menjadi terpingkal-pingkal. Bukan karena mereka lucu, akan tetapi karena masing-masing pemain menginterpretasikan peran masing masing yang lepas dari skenario aslinya, sehingga gerak dan celotehnya menjadikan kita terbahak-bahak.

Mari kita lihat seperti ini;

Sistem Politik.
Kita sama sekali tidak melihat ada seorang pun, baik dari kalangan intelektual maupun terutama politkus, yang mempersoalkan tentang system politik yang carut marut ini yang produknya sedang dan telah menjadi koflik horizontal antara SBY dan JK. Di dunia ini dikenal dengan antara lain sistem Presidential, sistem Parlementer dan sistem Komunisme. Nah apa yang terjadi di negeri ini, kita tidak menganut presidential, karena pemilu di awali oleh pemilihan Anggota Legislatif. Dalam sistem presidential, pilpres dilakukan terlebih dahulu., baru kemudian dilakukan pemilu Legislatif. Tetapi pada kampanye Pileg yang baru lalu, yang kampanye adalah Para Calon Presiden dan Pimpinan Partai. Ini lazimnya terjadi dalam sistem Parlementer. Jadi sekali lagi kita tidak jelas, apakah menganut presidential pun parlementer. Karena dalam sistem parlementer, yang dipilih adalah Partai politik atau program-programnya.

Koalisi
Koalisi lahir karena produk dari Undang-Undang, yaitu untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden, harus memiliki suara hingga 25%. Ketentuan inilah, dalam sistem multi partai, menjadi tidak mungkin mendapat 25% kursi suara di DPR RI, hingga harus berkoalisi dengan partai-partai lain. Jadi Koalisi hanya untuk meraih kursi Presiden dan Wakil Presiden.
Nah kita sering mendengar komentar-komentar dari para pemimpin partai membuat reasoning mengapa partainya berkoalisi dengan partai lain. Ini artinya hanya membohongi rakyat dan ternyata koalisi hanya menghabiskan energy, sebab dasarnya bukan kepada flat form Partai, dan koalisi perjuangan untuk membela kepentingan rakyat. Akhrinya koalisi terjadi disebabkan hanya untuk kekuasaan, dan mudah rapuh, sehingga SBY – JK, mudah bersatu dan dengan gampang berpsiah. Koalisi seperti ini hanya melahirkan moralitas bangsa yang rendah dan tidak bermartabat.

Kontrak Sosial
Dalam sistem Presidential yang melakukan kontrak social adalah Calon Presiden dan didalam sistem parlementer, maka Partailah yang melakukan Kontrak social. Apa yang kita lakukan adalah para Caleg melakukan janji-janji kepada konstituennya. Ini sistem apa? Ini telah terjadi kebohongan kepada publik oleh seluruh Caleg se Indonesia secara massive.

Opisisi
Nah.,ini kata yang tidak pernah di fahami dalam kontek bernegara. Opisisi hanya dikenal dalam sistem parlementer. Artinya, partai pemenang kemudian menunjuk ketuanya menjadi Perdana Menteri dan kemudian menunjuk kabinetnya. Sedangkan Partai yang kalah kemudian menjadi opisisi. Perdana menteri bertanggung jawab kepada Partai yang melakukan kontrak social dengan Rakyat. Didalam sistem Presidential, tidak dikenal istilah opisisi, karena itu tugas parlemen adalah meligitimasi kontrak social antara Presiden dengan rakyatnya menjadi program Negara. Check and balances dilakukan dalam koridor kotrak social tersebut. Sedangkan bila partelemen menyimpang, maka Presiden memiliki hak Veto.
Apa yang terjadi di Indonesia? JK ingin menjadikan Golkar menjadi partai oposisi. SBY melakukan koalisi antara lain untuk membuat aliansi di DPR supaya bisa mengimbangi partai-partai yang menposisikan dirinya menjadi Oposisi. PKS, ingin membangun kekuatan yang kuat untuk menjadi opisisi pemerintah. Dan banyak lagi statement2 lain dari berbagai partai.
Disinilah kita melihat, sungguh sangat memprihatinkan bahwa para pentolan partai dan negarawan tidak faham akan hal ini!.

INILAH PRODUK UNDANG-UNDANG KITA, karena aturanya buruk, produknya menjadi buruk dan semua menjadi buruk.