Euphoria kegembiraan masih kita rasakan di Jakarta dan mungkin di daerah lain, atas kemenangan Jokowi Ahok pada Pilkada DKI Jakarta, kemarin. Apa yang seharusnya dan dapat kita baca dari kemenangan Jokowi tersebut? Sebagai bagian dari antisipasi, kalau masalah Jakarta bisa tuntas selesai hingga ke akar-akarnya, seperti harapan semua pihak. Antara harapan masyarakat akan perubahan yg menyeluruh disatu pihak versus kendala yang ada dan yg akan di hadapi oleh Jokowi itu sendiri.

Dari situlah kita berharap; “Jangan sampai dukungan yang besar dari masyarakat Jakarta kepada Jokowi Ahok, akan menjadi boomerang kepada Jokowi sendiri”. “Jangan sampai apa yang di janjikan Jokowi Ahok, kemudian menjadi tudingan masyarakat sebagai janji palsu dan bohong”. “Jangan sampai Jokowi dan Ahok, minggat lagi seperti Jokowi dari Solo dan Ahok dari Blitung”. “Jangan sampai mereka berdua bercerai karena kepentingan politik yang berbeda kelak, apalagi soal bagi-bagi kue pembangunan”.

Memang dengan mudahnya seorang yang sedang berkampanye, karena tujuannya memenangkan hati pendukungnya, ia mengumbar janji tanpa control. Padahal janji itu adalah, dalam kegiatan kampanye poliltik, sebagai kontral social. Artinya kalau kemudian menang harus di jabarkan kedalam program-program kerjanya, sebab karena itulah rakyat memilih seseorang. Tetapi karena kita menganut system yang buruk, tidak otomatis apa yg di kampanyekan oleh Jokowi, kemudian serta merta dapat dilaksanakan, karena tidak mendapat dukungan di DPRD DKI, karena berbagai alasan, baik teknis bahkan politis. Systemn politik kita demikian. Buruk. Inilah yg saya maksudkan, kemudian akan mendapat tudingan masyarakat awam sebagai janji palsu dan kebohongan Jokowi-Ahok.

Jokowi dan Ahok dua sosok pejabat public yang meninggalkan jabatannya yang terdahulu padahal belum selesai menuntaskannya. Ini harus kita cermati, jangan sampai terulang lagi di Jakarta. Kita khawatir saja, kalau perilaku culas dan hianat kapada janji itu, kemudian mengecewakan kita semua lagi. Bila perlu harus kita ikat mereka itu dengan ikatan yuridis.

Nah, siapa yang menjamin Jokowi dan Ahok, akan selalu bersama, akan selalu bergandengan tangan!? Kita dapat membaca dalam sejarah budaya Politik kita. Bung Karno dan Bung Hatta, bercerai. Pak Harto tak pernah punya wakilnya hingga 2 kali periode. Gusdur dan megawati bercerai berai. Megawati dan Hamzah Haz berpisah kemudian saling berebut kursi kepresidenan. SBY dan JK bertikai dan saling menclaim keberhasilan. Saya hanya ingin menggaris bawahi Jokowi tiang Jawi yang syarat dengan Kepentingan Politik dan Ahok orang China yang tak lepas dari jaringan kechinaannya terutama dalam berbisnis.

Yu, kita turut sama – sama membenahi dan menjaga Jakarta