You are currently browsing the monthly archive for December 2011.

Berkali kali POLRI mengatakan, bahwa penanganan tragedi Sape di Bima, adalah telah sesuai dengan Protap. Ini artinya apa? Kasus yang menyebabkan terjadinya korban jiwa, bukan saja telah sering terjadi, akan tetapi bakal terulang kembali di waktu yang akan datang. Sinyalemen ini memberi isyarat kepada kita, bahwa ada yang salah dengan lembaga kepolisian ini. Karena tugas polisi adalah membawa pelanggaran hukum ke pengadilan. Tidak menembaki, apalagi mengakibatkan kepada kematian.

Protap disusun sebagai penjabaran dari Peraturan yang ada. Sedangkan Peraturan tersebut, mengacu kepada policy. Dan policy berdasarkan kepada mindset. Jadi mindset –> kebijakan –> Peraturan –> Protap. Demikian alur pikirnya secara gamblang dapat kita fahami.

Apa kemudian mindset polisi indonesia!? Sejarah kepolisian di indonesia di era Orba masuk ke angkatan bersenjata alias angkatan perang. Ini berakibat akhlaq ya dalam berbagai penanganan masalah, seperti menghadapi musuh. Padahal polisi adalah alat penegak hukum.

Struktur organisasi POLRI persis sama dengan struktur organisasi TNI; di tingkat Pusat ada Mabes, kemudian ditingkat provinsi ada Polda, di Kabupaten Dan Kota ada Polres hingga ke tingkat Kecamatan ada polsekta2 seperti Koramil.

Struktur kepangkatannya, sama dengan angkatan perang, Ada jenderalnya segala rupa. Bahkan kita lihat di dada para jenderalnya Ada berbagai macam tanda jasa, bak sudah berperang.

Bagaimana polisi seharusnya?

Di Jepang Kota mengenal Koban Polis, tugasnya disamping menage keamanan lingkungan, juga me Perjanjian warganya sekitarnya. Orang orang jompo yang tinggal sendiri, di pantau bila Ada yang perlu Dan memerlukan bantuan, seperti mengingatkan minum obat.

Di Amerika, kita mengenal Sherif, yang tugasnya memantau lingkungan wilayah ya dari berbagai macam gangguan keamanan.

Di Bali ada Pecalang yang menyebabkan Bali paling aman di indonesia dan membuat nyaman tourist manca negara.

Polisi adalah sipil, bukan militer.

Menjelang Pilkada DKI, sudah banyak nama-nama calaon Gubernur dan wakilnya bermuculan. Entah tekad apa yang mereka siapkan, karena dewa sekalipun, dalam sistim Pilkada seperti saat ini, sulit melahirkan pimpinan yang mumpuni. Banyak fakta, Gubernur atau Bupati/Walikota terpilih karena populeritasnya, yang tak ada kaitannya dengan keperluan menyelesaikan daerah yang akan dipimpinnya. Coba kita urut masalah-masalahnya seperti berikut ;

Pertama, pilkada ternyata tidak ada hubungan antara pemilih (konstituensi) dengan kompetensi. Seseorang calon kepala daerah walaupun dipilih dengan perolehan suara terbanyak tidak berarti menjadi kepala daerah yang memiliki kemampuan. Karena, dalam realitasnya proses rekrutmen pilkada, aspek kualifikasi kemampuan termarjinalkan oleh faktor popularitas, kemampuan finansial, dan parpol pengusung. Di sinilah proses seleksi pemimpin menjadi bias karena realitas politik di masyarakat dan parpol baru sebatas penarikan dukungan belum sampai pada upaya pencarian pemimpin yang memiliki visi dan kapasitas memimpin pemerintahan. Kualifikasi dan kemampuan seseorang akan dikalahkan ketidakmampuannya dalam mengakses kepentingan partai politik.

Kedua, proses pengusungan calon dalam satu paket menimbulkan konflik karena formasinya bisa dilakukan secara beragam. Misalnya, kepala daerah diusung dari PDIP dan wakilnya dari kader Golkar. Bisa juga, calon kepala daerah dari parpol dan calon wakilnya dari birokrat. Jadi, dalam sistem satu paket, variasi pasangan bisa dari latar belakang yang berbeda. Saat proses pencalonan sampai pada pemilihan tidak ada masalah, namun ketika pasangan itu terpilih dan kemudian memimpin pemerintahan terjadi konflik kepentingan karena berbagai faktor seperti: kewenangan tidak bisa diimplementasikan secara efektif, kepala daerah/wakil kepala daerah bisa dikendalikan kepentingan partai politik, rebutan pengaruh kekuasaan dan kepentingan rebutan proyek.

Ketiga, legitimasi calon terpilih rendah. Aturan main calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dalam UU hanya mensyaratakan 25 %. Ketentuan ini telah menyebabkan terjadinya proses delegitimasi terhadap kepemimpinan kepala daerah. Dengan ketentuan ini seorang kepala daerah bisa terpilih dengan modal dukungan hanya sekitar 25 % dari total pemilih, artinya 75 % pemilih sesungguhnya tidak memberikan dukungan terhadap kepala daerah terpilih.

Keempat, ketimpangan dukungan politik dari DPRD. Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih bisa berasal dari parpol yang tidak menguasai suara mayoritas di DPRD. Misalnya, calon terpilih dari PDIP, sementara di DPRD yang menguasai mayoritas adalah Partai Golkar. Apa akibatnya? Jika seni leadership dan kemampuan komunikasi politiknya lemah, berpeluang untuk “dimain-mainkan” bahkan sangat mungkin dicari-cari kesalahan oleh DPRD untuk dijatuhkan kepemimpinanya. Juga, sangat berpeluang terjadi disharmonisasi antara kepala daerah dengan DPRD; yang terjadi bukan bagaimana mengefektifkan penggunaan kekuasaan, tapi adalah bagaimana memperebutkan kekuasaan untuk kepentingan politik sesaat (the politics of opportunities).

Kalangan anggota DPRD merasa sebagai penguasa politik tunggal di daerah yang mengendalikan eksekutif. Saat sama, pemilik atau pengelola uang daerah, sebagaimana fungsinya, adalah pemerintah daerah (pemda). Parahnya, sebagian besar (untuk tidak dikatakan semua) anggota DPRD kondisi sosial ekonominya rentan, sementara mereka mengendalikan pihak yang memiliki atau mengelola uang (pemda). Maka, tidak heran bila perasaan berkuasa diekspresikan dengan melakukan berbagai tekanan terhadap gubernur/bupati/wali kota atau jajaran pejabat pemda lain sehingga bisa memperoleh uang atau bentuk-bentuk kompensasi materi lain bagi kepentingan pribadi atau kelompok. Dalam kondisi seperti itu, bila pihak pemda bersifat kooperatif dalam arti memahami kehendak terselubung para anggota DPRD, maka gubernur/bupati/wali kota akan selamat dari ancaman impeachment. Tetapi, saat itu pula konspirasi yang menyalahgunakan uang negara/rakyat terjadi, karena untuk saling menyelamatkan dan memuaskan tiada lain kompensasinya adalah uang. Proses-proses konspirasi dan penyalahgunaan uang itu berlangsung amat tertutup atau tak bisa secara langsung dipantau masyarakat luas. Sebaliknya, bagi gubernur/wali kota/bupati yang tak bisa memuaskan atau memenuhi kepentingan materi anggota DPRD, maka akan selalu dibayang-bayangi upaya impeachment. (Laode Ida, 2002)

Kelima, batas-batas kewenangan pejabat politik dan pejabat birokrasi tidak jelas, sehingga kekuasaan menjadi terpusat di kepala daerah. Akibatnya, urusan penyelenggaraan pemerintahan yang lazimnya menjadi kewenangan otoritas birokrasi, bisa diintervensi oleh kepentingan pejabat politik. Fenomena rolling pejabat struktural di pemda dan distribusi alokasi anggaran dalam APBD sangat ditentukan oleh otoritas kepala daerah. Suasana pemerintahan menjadi tidak kondusif dan tidak efektif karena dikalangan pegawai pemda dihantui penuh ketidakpastian jenjang karier.

“Tragedi Mesuji menjadi lampu kuning bagi pemerintah karena negara tak mampu melindungi rakyat serta melengkapi fakta karut marutnya penegakan hukum”, inilah what Bambang Sutatyo in his mind-nya di FB hari ini. Apakah ini ancaman, karena datang dari pikirannya seorang anggota Dewan dari Partai Golkar?! Atau provokasi, karena di sampaikan di tempat jejaring sosialk Face Book sehingga bisa di baca oleh banyak orang!?. Atau mencari simpati dari konstituennya?!. Saya tidak mengerti.

Yang ingin saya utarakan adalah, bahwa perisitiwa Mesuji bukan hal yang pertama, bahkan sering terjadi di daerah lain dalam bentuk yang berbeda. Intinya berindikasi terhadap pelanggaran HAM. Dan itu bagai kutil, yang terus tumbuh bila tidak di berantas hingga ke akar-akarnya. Inilah akar masalahnya. Pelanggaran HAM di Indonesia, karena salah Policy.

Pelanggaran HAM yang saya maksud, adalah kekerasan kepada warga/masyarakat yang dilakukan oleh aparat negara (Polisi atau TNI). Nah, segala kejadian HAM di kita adalah produk dari kebijakan yang keliru. Mari kita buktikan.

Coba perhatikan apa sesungguhnya tugas Tentara?!. Menjaga keutuhan wilayah NKRI. Tetapi bila dilihat dari struktur organisasinya, itu terstruktur dari pusat hinga ke kecamatan-kecamatan di seluruh wilayah Indonesia. Ini tak lazim, karena ancaman keamanan kepada keutuhan NKRI, tidak datang dari rakyat yang tidak bersenjata. Banyak data dan fakta, kalau Tentara telah melakukan kekerasan kepada rakyat, ditinjau dari sudt pandang HAM.

Kedua soal POLRI. Organisasi Polisi kita, percis sama seperti tentara yang tugasnya Perangf!.Ditingkat Pusat ada Mabes, sama dengan TNI. Ditingkat provinsi ada Polda identik dengan Kodam. Di Kabupaten/kota ada Polres ini sama dengan KODIMnya TNI, dan ditingkat kecamatan POLSEK juga sering barengan patroli kepada masyarakat seperti KORAMIL.

Kapan kalau TNI diposisikan fokus berada di daerah-daerah strategis, seperti di daerah-daerah perbatasan dengan negara lain. Di Jakarta Pusat ngga perlu kali ada Koramil.

Kapan kalau Polisi kita melepaskan dirinya selaku polisi tentara, bukan polisi tukang perang (dulu sempat masuk ABRI). Ia dibawah komando kepala daerah. Kita bisa mengangkat seperti peran Pecalang di Bali bak Sherif di Amerika.

Judul tulisan ini sebenarnya hanya ingin memberi ilustrasi bagaimana mempermudah pemahaman kita akan arti pentingnya System Politik yang benar. Coba perhatikan, karakterisitik orang mengendarai modil di Jalan Toll. Siapapun orang yang masuk jalan toll, apakah ia sopir Bis antar Kota, Angkutan Kota, Mikrolet Mini, Mobil Tentara, Profesor yang nyopir, begitu masuk Toll, mereka relatif tertib, teratur dan berperedaban tinggi bak layaknya di negeri orang.

Bangga sekali aku, bangsa ini koq bisa ya berakhlaq seperti layaknya terjadi di negeri-negeri maju!.

Tetapi sebaliknya, begitu mereka itu keluar jalan Toll, masuk ke jalan jalan bukan toll, yang mikrolet, bus antar kota, bahkan si profeseor sekalipun, mereka bak ikan di lemparkan ke kolam air, seperti kembali ke habitatnya, amburadul lagi. Ugal-ugalan, nyerobot hak orang, zig zak, ambil penumpang dan menurunkan sembarangan. Macet.

Inilah yang membuat kita malu sebagai suatu bangsa!. Tidak bermartabat.

Kesimpulan kita adalah, dalam system yang baik, seperti sopir-soprt yang biasa brutal, bisa tertib dan menertibkan diri ketika masuk ke jalan toll. Dan sebaliknya, profesor sekapipun bila ia masuk kedalam system yang tidak baik, maka ia larut dalam perilaku system yang buruk tersebut.

Inilah gambaran system ketata negaraan kita. siapapun Presidenya, siapapun Menterinya, siapapun anggota Dewannya, siapapun Ketua KPKnya, Siapapun Kapolrinya,dst, karena hidup dalam system yang baruk, maka performance mereka sulit menjadi baik.

3 Presiden kita di jatuhkan. Usai tugasnya, Presiden wan wakilnya berebut kursi kepresidenan, perhatikan Megawati dan hamzam Haz dan SBY -JK. Campur aduk antara wilayah karir dan wilayah politik. DPR memilih, Kapolri, Pamnglima TNI, Ketua KPK, dst. DPR tidak mengerti hakekat tugas pokoknya. Polisi, Jaksa, Hakim dan sekaligus Pengacara menjadi seolah-olah system yang meruntuhkan hukum keadilan itu sendiri. Managemen Pembangunan tidak sistemik sebagai suatu proses politik, karena kontrak sosial presiden tidak di fahami sebagai janji kepada rakyat. Artinya antara Kontrak sosial dan proses penganggaran dan program pembangunan berrjalan-jalan masing-masing.

Siapa yang salah? Konstitusi kita, karena Kosntitusi mengaturnya seperti itu. Jadi Dewa sekalipun, akan sulit mengatur negeri ini, sepanjang systemnya buruk!.

Harian Umum Jawa Pos, kamis 8 Desember 2011,  menurunkan feature-nya pada rubrik Politik dengan judul Upaya Impeachment Muncul di DPR RI. Pemicu impeachment kepada president SBY itu adalah soal Bank Century. Dalam laporan tersebut, malah di gambarkan langkah langkah impeachmentnya secara kronologis. Sepertinya logis dan dapat mudah dilakukan.

Saya menjadi geli membacanya. Ada dua hal yang patut kita soroti.  Pertama landasan hukumnya dan yang kedua issue pokoknya. Landasan hukum pemakjulan Presiden ada pada UUD 1945′ psl 7a dan issue pokoknya adalah scandal Bank Century.

Pasal 7a UUD 1945, menegaskan bahwa antara lain bila ternyata Presiden melakukan korupsi, maka ia bisa di impeach. Kata korupsi adalah bahasa yuridis. Artiya harus di butkitkan terlebih dahulu di pengadilan.  Bila ternyata terbutki, baru kemudian proses impeachmennya.

Pertanyaan kemudian adalah, mungkinkah Presiden yang sedang berkuasa dapat diadili?  Kalau jawabnya mungkin, menurut saya malah tidak akan mungkin terjadi, maka bila kemudian terbukti bersalah melakukan korupsi,  terdakwa boleh mengajukan haknya untuk banding kepengadilan tingkat yang lebih tinggi, MA dan akhirnya hingga minta grasi kepada dirinya sendiri. Ini aturan hukum yang sangat rancu.

Kasus Bank century, terjadi pada waktu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa tahun 2004- 2009. Katakanlah SBY 1. Sekrang dia sudah tidak menjabat lagi. Presiden  sekarang, n adalah  SBY 2, tidak ada hubungan apapun dengan SBY 1.

Hal yang aneh, mengapa Kasus Bank Century masuk ke ranah politik, padahal bukan wilayah politik. Ia murni kriminal dan sejatinya menjadi tugas kejaksaan dan polisi untuk menyelesaikannya.

Jadi saya berkesimpulan, menyelesaikan kasus century di DPR adalah soal tekanan politik yg gombal, bodoh dan menipu rakyat.

Bagaimana buruk system politik kita, dalam kaitannya dengan lahirnya pejabat publik kita, dapat kita lihat, seperti Rano Karno ( Si Doel Anak Betawi), Dicky Chandra, Nurul Qomar (empat Sekawan), Deddy Gumerlar Miing (Bagito Group), Eko Patrio, dan sederet artis lainnya. Tentu adalah haq mereka untuk mau berbuat apa saja di negeri ini, dan berkpirah dimana saja, termasuk dalam karir bidang politik. Akan tetapi khusus dalam karir politik, sejatinya ada suatu merit system, antara popularitas versus competency dirinya.

Public harus disiapkan ntuk dapat memilih siapa saja, hanya yang terbaik alias the best. Jadi mereka yang tarung atau padungdung didalam dunia politik, karena produknya adalah menjadi pejabat public, maka kriteria dan kualifikasinya harus “the best among the best”. Bayangkan kalau yang 560 anggota DPR `RI itu adalah ex the best among the best!.

UU Politik, UU kepartaian, UU Pemilu dan yang berkaitannya dengan politik, adalah harus berfunsgi sebagai system recruitment yang baik. Tidak menjadi alat politik, yang hanya untuk mendongkrak peraihan suara saja (vote gatter), hingga akhirnya Bung Mandra dahulu ikut berkampanye untuk Partai Politik tertentu.

Kita bisa meniru bagaimana Amerika melahirkan pejabat-pejabat public. Tingkatan karirnya, secara sistemik berjengjang. Tidak ujug ujug menjadi calon Presiden seperti di kita. Begitu juga yang terjadi dalam system parlementer seperti di Australia, seseorang yang di calonkan partai dan menjadi ketua partai, secara sistemik memposisikan seseorang untuk menjadi pejabat public itu, karena competencynya.

Lebih dari itu, yang tak kalah pentingnya adalah, job deskripsi mereka; Jangan menugaskan orang-orang yang saya sebutkan tersebut diatas untuk membuat UU, karena memang bukan tugas mereka. Fungsi legislasi itu bukan membuat UU secera leterlijk akan tetapi menyetujui UU yang sudah di buat oleh para pakar dan akhlinya.

Dari mana kita memulai membangun karakter bangsa yang kuat? Banyak hal yang bisa dilakukan, antara lain bisa melalui pendidikan karena pendidikan merupakan media internalisasi nilai-nilai kebangsaan yang paling strategis. Namun, dari perspektif politik, karakter bangsa hanya bisa dilakukan jika sistem politik di neegri ini bisa menghasilkan pejabat publik yang berkualitas, bermoral, dan memiliki kepribadian kokoh; disisi lain negeri ini membutuhkan keteladanan pemimpin karena bisa membangkitkan kesadaran untuk menjadi bangsa yang kuat dan mulia.

Kita masih ingat waktu pemilu 2009 yang lalu. Pada waktu kampanye, semua caleg melakukan orasi dan menyampaikan gagasan dan janji-janjinya kepada publik pemilih. Macam-macam janji di umbar; “Ada yang berjanji kalau saya terpilih, ini provinsi saya akan bangun bla bla”, kata Dedy Gumelar alias Miing. Megawati melakukan kontak politik dengan kadernya, Semua kader PDI-P yang terpilih menjadi anggota DPR, harus siap untuk menurunkan harga-harga. Dan janji seabgreg caleg-caleg lainnya, baik untuk tingkat Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Inilah apa yang saya sebut dengan kekeliruan system dan pemahaman tentang system politik, sehingga kemudian menumbulkan hal-hal sbb :

Yang pertama keliru adalah, pertama pemilu pileg dilakukan mendahului Pilpres. Ini terbalik, dalam system Presidential Pileg dilakaukan seletalah Pipres. Tuhas DPR adalah merealisasikan dan mengawal serta mengamankan janji Presiden terpilih kepada`rakyat.

Yang kedua keliru adalah, system sudah berubah. Sekarang bukan system parlementer. Rakyat tidak memilih Partai. Rakyat memilih nama perorangan. Caleg tidak boleh berjanji apapun kepada rakyat, sebab yang akan menjadi program negara adalah Janji Presiden (Kontrak Sosial namanya). Bukan janji Caleg!!!.

Yang ketiga keliru adalah, tugas dan fungsi DPR dalam system Presidential. Saat ini, perilaku atau attitude di DPR adalah bernuansa System Parlementer ; Ada fraksi-fraksi Parpol. Ada Koalisi Parpol dan sekaligus ada Oposisi Parpol, yang sama sekali tidak dikenal dalam system Parlementer.

Yang keampat keliru, seperti kata Arbi Sanit, ternyata dari 560 orang anggota DPR, yang layak hanya 60 orang, sisanya yang 500 hanya sampah politik saja.

Yang kelima keliru, silahkan ada tulis sendiri menurut anda, di komen….

Blog Stats

  • 147,852 hits
December 2011
M T W T F S S
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031  

Flickr Photos

Top Clicks

  • None